Rabu, 03 Februari 2010

Jelang Pilkada 2010-2015 Membedah Kekuatan dan Peluang Cawabup Sumenep


Oleh : Syafrudin Budiman, SIP
Pemerhati Sosial Politik dan Media

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Sumenep periode 2010-2015 tinggal empat bulan lagi. Namun sampai saat ini wacana masih berkutat pada pembahasan Siapakah Calon Bupati (Cabup). Sementara pembahasan Calon Wakil Bupati (Cawabup) masih tertingal jauh.

Padahal sosok cawabup merupakan figur penting dalam meningkatan elektabilitas, popularitas dan sangat berpengaruh pada kemenangan. Kelebihan figur cawabup bisa menutupi kelemahan cabup yang akan diusung. Bahkan kadang cawabup bisa menjadi penentu kemenangan pada Pilkada.

Pesta demokrasi lima tahunan ini akan digelar 14 Juni 2010. Dimana hanya memiliki waktu tersisa sekitar 4 bulan lagi. Sedangkan masa pendaftaran di KPUD lebih dekat lagi dengan menyisakan waktu sekitar 48 hari. Sungguh, ini waktu yang singkat bagi para kandidat dalam merencanakan kemenangan. Apalagi belum menentukan siapakah pasangan cawabup-nya. Sungguh dilema yang cukup sulit bagi cabup nantinya.

Secara pemetaan sudah muncul nama-nama cabup yang dipastikan maju lewat jalur partai politik. Diantaranya, KH. Abuya Busyro Karim, Azasi Hasan, Bambang Mursalin, Haji Sugianto, KH. Ilyasi Sirajd, Khalis dan Malik Effendi. Selanjutnya dari jalur independen didominasi nama-nama baru yang nampak. Diantaranya Mahbup Ilahi, Moh. Kafrawi, KH. Muhammad Shaleh, Rahmad dan Samarudin Toyyib.

Kemungkinan nama-nama diatas, masih bisa berubah dan bertambah. Tergantung pada peluang dan ruang koalisi yang dibangun. Apakah melebar ataukah malah mempersempit diri dengan sedikit calon. Sementara untuk independen ruang politik masih sangat terbuka lebar. Selama memenuhi persyaratan administrasi dan lolos verifikasi faktual.

Selanjutnya untuk cawabup secara pemetaan, mulai beredar nama-nama yang akan digadang-gadang. Diantaranya dari kalangan Nahdliyin, KH. Mujahid Ansori, KH. Abdul Muiz, KH. Muhsin Amir, Ny. Hj. Dewi Khalifah dan Hasan Basri. Sedangkan dari kalangan birokrat Sungkono Sidiq, A.Syafii Untung dan Dzulkifli Mahmud.

Ada pertanyaan besar kenapa yang muncul lebih banyak dari kalangan Nahdliyin? Hal ini tentunya bisa terjawab. Mengingat warga Nahdlyin memiliki basis yang sangat besar dan mayoritas di Kabupaten Sumenep. Figur kedekatan Kyai dan santri telah mendarah daging. Apalagi sejak reformasi 1998, kran politik terbuka lebar. Terbukti juga banyak bermunculan partai yang bergambar bumi dan dilingkari bintang sembilan.

Berdasarkan data sejak pemilu legeslatif 1999, partai berbasis warga Nahdliyin memperoleh hasil dukungan cukup kuat. Diantaranya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 25 kursi, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 3 kursi, Partai Nahdlatul Umat (PNU) 1 kursi dan terakhir Partai Kebangkitan Ummat (PKU) 1 kursi. Sungguh suara yang sangat fantastis, sehingga mampu merubah keadaan. Berbeda dari pemilu 1997 sebelumnya, Golkar 40 kursi PPP 4 kursi dan 1 kursi PDI.

Selanjutnya pada pemilu 2004, PKB menurun menjadi 20 kursi, PPP meningkat menjadi 7 kursi, PBR memperoleh 1 kursi dan PPNUI tetap 1 kursi. Sedangkan pemilu 2009, tidak terlalu banyak berubah dan sedikit ada pergeseran. Diantaranya, PKB menurun menjadi 11 kursi, PPP tetap memperoleh 7 kursi dan Partai Kebangkitan Nahdlatul Ummat (PKNU) meroket tajam meraih 4 kursi.

Pada pemilu 2009 memang suara partai berbasis Nahdliyin mengalami sedikit perubahan dan penurunan kursi. Hal ini disebabkan adanya perpecahan politik di kalangan Kyai sendiri. Sehingga distribusi suara malah lari ke partai-partai nasionalis dan modernis. Terbukti dengan bertambahnya suara PDI Perjuangan dari 4 kursi menjadi 6 kursi. PAN dari 5 kursi meningkat menjadi 6 kursi dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari 1 kursi meningkat menjadi 2 kursi.

Malahan ada hal yang diluar dugaan, PBB dari nol kursi menjadi 4 kursi. Ini menadakan konflik yang tajam di kalangan Nahdlyin mampu dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya. Selajutnya yang lebih menarik lagi, tiga partai baru berlatar belakang nasionalis meroket tajam. Partai Hanura mendapatkan 3 kursi, Partai Demokrat 2 kursi dan PDP 1 kursi.

Sementara Partai Golkar yang dipimpin KH.Wakir Abdullah berlatar belakang Nahdliyin gagal pada pemilu 2009. Mengingat suaranya merosot tajam dari 6 kursi turun menjadi 4 kursi. Nasibnya sama dengan Partai Kebangkitan Bangsa merosot tajam dari 20 kursi menjadi 11 kursi.

Ini menandakan figur Kyai berbasis Nadhliyin mulai merosot, karena konflik dan perebutan eksistensi. Namun suara partai berbasis Nadhliyin, dengan kekuatan Kyai dan santri masih diperhitungkan. Pengaruh dan wibawa mereka masih dibutuhkan dalam memperoleh dukungan suara. Terutama di basis-basis desa dan lingkaran lingkungan pesantren pada Pilkada 2010 ini.

Selain dari kalangan Nadliyin, cawabup yang mempunyai peluang maju adalah dari kalangan birokrat. Mesin jaringan pemerintahan dan pengalaman selama menjadi pejabat. Menjadi modal utama dalam penggalangan suara. Kekuatan birokrasi dinilai mampu menembus seluruh desa-desa dan kecamatan. Ini menandakan bahwa, cawabup dari pemerintahan memiliki basis sosial dalam melengkapi kemenangan.

Sesuai Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No 32 Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasangan kandidat bakal cabup dan cawabup harus mampu memenuhi persyaratan Undang-Undang yang ada. Dimana Pasal 59 ayat 1 mengatakan, peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: a. pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sedangkan huruf b. pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang.

Selanjutnya ayat 2 mengatakan, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a. Pasangan bakal cabup dan cawabub, dapat mendaftarkan pasangan calon, apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima
belas persen) dari jumlah kursi DPRD. Syarat lainnya atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Tentunya pasangan cabup dan cawabup harus mencapai dukungan partai politik atau koalisi partai politik. Dimana harus memenuhi syarat minimal 8 kursi dari 50 kursi DPRD Sumenep. Sedangkan untuk 15% (lima belas persen) suara sah dari total hasil pemilu 2004 membutuhkan suara sekitar 84 ribu. Mengingat suara sah keseluruhan adalah sekitar 560 ribu.

Membedah Kekuatan Calon Wakil Bupati

Peta kekuatan cabup Sumenep saat ini, masih didominasi kalangan Nahdliyin. Dimana berlatar belakang pesantren dengan dukungan santri. Diantaranya akan maju, KH Busro KH. Abuya Busyro Karim, KH. Ilyasi Sirajd dan KH. Muhammad Shaleh. Tentu Ini menandakan dan menunjukkan peluang kandidat Kyai masih terbuka lebar.

Selain Kyai juga banyak tampil dari kalangan pengusaha dan profesional, yang akan ikut bertarung. Diantaranya, Azasi Hasan, Bambang Mursalin, Haji Sugianto, Khalis, dan Malik Effendi. Sedangkan dari kalangan independen diantaranya, Mahbup Ilahi, Moh. Kafrawi, Rahmad dan Samarudin Toyyib. Semua calon independen muncul dari kalangan pengusaha dan profesional.

Dari figur-figur diatas, tidak ada satupun dari kalangan birokrat atau pejabat yang berani maju menjadi cabup. Kandidat cabup dari kalangan Nahdliyin, dan pengusaha/profesional bisa berharap menggandeng cawabup dari birokrat. Dimana cawabup birokrat dianggap mampu melengkapi. Baik dari segi kefiguran maupun jalannya pemerintahan nantinya jika terpilih.

Selain itu juga, bisa tampil pasangan cabup dari Nahdliyin dan cawabupnya dari kalangan pengusaha/profesional. Bahkan sebaliknya, pasangan cabup dari kalangan pengusaha/profesional dan gandengan cawabupnya dari kalangan Nadliyin. Sebuah hitung-hitungan secara sistematis agar dalam langkah kemenangan bisa berjalan mulus dan sukses.

Kalau kita membedah cawabup yang mulai beredar di masyarakat. Tentunya kita perlu membedah mulai dari latar belakang, track record dan basis sosialnya. Jika cabupnya salah dalam memilih pasangan cawabupnya. Maka akan berdampak pada peluang dan probabilitas kemenangan. Cawabup yang dipilih jangan sampai melemahkan, tetapi harus bisa menguatkan cabupnya.

Selanjutnya berikut ini, kita pertajam satu-persatu cawabup Sumenep yang akan muncul. Mana kira-kira cawabup yang mempunyai peluang dan potensi yang sangat tinggi. Baik secara politik basis, politik pencitraan, dan politik ekonomi. Berikut ini kita sebutkan nama-nama cawabup dibawah ini.

Diantaranya, KH. Mujahid Ansori, merupakan tokoh politik PPP Jatim dan berpengalaman dalam perpolitikan Jatim. Mantan anggota DPRD Jatim 2004-2009 ini terpilih dari Dapil X, PPP Jatim. Selain itu ia juga, menjabat Ketua Ikatan Alumni PMII Jatim, organisasi alumni mahasiswa berbasis Nadlyin. Dirinya sempat mengikuti Konvensi PPP Sumenep dan memperoleh peringkat nomer dua.

Sebagai seorang kader partai, tidak ada yang meragukan kekaderannya di PPP. Namun dirinya lahir di Pamekasan dan sejak tamat SMA lebih banyak tinggal di Surabaya. Kefigurannya tidak terkenal oleh masyarakat Sumenep secara menyeluruh terutama perdesaan dan daerah pinggiran. Ini menjadi kelemahan dalam penggalangan suara dan politik pencitraaan.

Selanjutnya KH. Abdul Muiz, mantan Wakil Bupati Sumenep periode 2000-2005, berpasangan dengan KH. Ramdlan Siradj, bupati terpilih waktu ini. Ia terpilih dengan sistem aturan dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang lama. Dimana dirinya terpilih berkat dukungan suara mayoritas PKB hasil pemilu 1999 dengan kekuatan 25 kursi parlemen.

Dari awal pemerintahannya bersama Bupati Sumenep, sebenarnya menunjukkan tanda-tanda kinerja positif. Masyarakat menaruh rasa kepercayaan yang tinggi kepada Bupati dan Wakil Bupati waktu itu. Namun ketika Pilkada 2005-2010, KH. Abdul Muiz malah tidak berpasangan kembali KH. Ramdlan Siradj, untuk yang kedua kalinya. Seharusnya bisa maju sendiri, dengan menggandeng orang yang mumpuni dan memilili dukungan yang luas.

Namun sangat disayangkan, dirinya malah maju berpasangan dengan Hj. Siti Aisyah dengan dukungan Alinasi Parpol Non Parlemen hasil pemilu 2004. Hasilnya tidak cukup menggembirakan, karena dirinya salah memilih pasangan calon. Andaikan saja memilih seorang birokrat mungkin dirinya masih bisa berpeluang kuat terpilih sebagai Bupati Sumenep. Tentunya keadaan ini akan berubah jauh dari hasil yang sudah ada.

Figur dan sosok dirinya cukup dikenal dikalangan warga Sumenep dan mempunyai kedekatan khusus dengan beberapa kalangan Kyai kharismatik. KH.Abdul Muiz bisa menjadi sosok kuda hitam, jika berpasangan dengan kalangan birokrat atau pengusaha/profesional. Mengingat stok figur seperti ini penting terbatas dan kemungkinan akan membantu melengkapi pasangan cabupnya.

Figur lainya adalah KH. Muhsin Amir, mantan anggota DPRD Sumenep periode 1999-2004 dari Partai Kebangkitan Umat. Sebagai ketua dan inisiator partai, dirinya merupakan satu-satunya dari Partai Bangkitan Umat. Selanjutnya ketika partainya bergabung ke PPP pada 2004, KH Muksin Amir mencalonkan diri lewat PPP. Sayang dengan nomor urut 3 Caleg DPRD Propinisi Dapil X ini gagal meraih kursi. Namun perolehan suaranya cukup signifikan di Sumenep.

Saat ini dirinya akan maju sebagai cawabup lewat PPP Sumenep dan lolos penjaringan dengan angka tertinggi. Figur dan sosok KH. Muhsin Amir tidak terlalu populer di kalangan masyarakat Sumenep. Namun ia dikenal dekat dengan KH. Warist Ilyas Ketua PPP Sumenep. Ia juga dinilai hanya mendapat dukungan dari Kyai kharismatik dan santri di daerah Dapil III Sumenep (Pragaan, Ganding dan Guluk-Guluk). Tentunya perlu ekspansi untuk pengutan figur dan dukungan ke dapil-dapil lainnya di Sumenep.

KH. Muhsin Amir, hanya dikenal didaerah dapil tersebut dan perlu memperluas jaringan. Mengingat Sumenep memiliki 27 Kecamatan yang harus dilalui. Jika ia berpasangan dengan figur profesional dan pengusaha, kemungkinan dirinya akan menjadi nilai tambah. Dengan syarat, waktu tersisa terus melakukan sosialisasi dan penggalangan suara.

Dirinya masih ada waktu sekitar 4 bulan untuk melakukan sosialisasi mulai sekarang. Jika tidak maka akan berpengaruh pada elektabilitas dan kemenangan. Selama masih ada waktu bisa dimanfaatkan dengan baik dan dilakukan sosialisasi secepatnya. Pemasangan foto, gambar dan pengenalan figur penting sebagai langkah berbanding lurus pada peningkatan dukungan suara.

Sementara itu ada Ny. Hj. Dewi Khalifah, ia merupakan figur satu-satunya perempuan, yang akan maju sebagai cawabup. Mantan anggota DPRD Sumenep dari PKB periode 2004-2009 ini adalah Wakil Ketua DPC PKB Sumenep dan Ketua Bidang Advokasi Hukum & HAM DPW PKB Jatim periode 2008-2013. Saat ini Nyi Eva bisa orang memangil, juga menjabat Ketua Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa periode 2008-2013.

Karirnya di organisasi badan otonom NU adalah mantan Ketua umum Fatayat NU sumenep 1996-1999, dan Ketua umum Muslimat NU sejak 1999. Selain itu dibidang sosial dirinya merupakan Wakil Ketua Women Crisis Center Puan Amala Hayati sejak 2000.Ia sempat mencalonkan anggota DPRD Sumenep untuk kedua kalinya. Namun gagal karena tidak memperoleh suara terbanyak. Berbeda dengan pemilu sebelumnya yang menggunakan nomor urut dan berdasar pengalaman jenjang organisasi.

Dirinya juga dikenal dekat dengan pamannya KH. Rahem Usmuny Ketua Dewan Syuro PKNU Sumenep. Selain itu, suaminya KH. Syafraji adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Sumenep. Tentunya dengan modal yang ada itu, Nyi Eva bisa melengkapi kelemahan cabup dari kalangan profesional/pengusaha.

Terakhir ada nama H. Hasan Basri, ia adalah mantan Sekretaris Umum PC NU Sumenep dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua PC NU Sumenep. Sosoknya terkenal low profil dan sederhana, namun ia termasuk motor pergerakan NU. Kelebihannya adalah bisa menjadi jembatan antara kalangan NU muda dan kalangan NU tua. Selain itu juga bisa menjembatani antara kalangan NU struktural dan non struktural.

Sebagai dosen dan akademi Universitas Wiraraja Sumenep dirinya banyak dikenal dikalangan anak muda dan mahasiswa. Hasan Basri juga adalah pengusaha yang sukses dan termasuk sukses dalam membangun jenjang karir. ”Santri struktural, akademisi dan pengusaha,” itulah gelarnya saat ini. Ketika Ketua PC NU Sumenep KH. Abdullah Cholil diminta maju dalam Pilkada dirinya menolak dan selalu menyebut nama Hasan Basri yang bisa menjadi alternatif figur dari NU struktural.

Sedangkan dari birokrat ada nama Sungkono Sidiq, ia adalah mantan Kepala PU Bina Marga jaman Bupati Soekarno Marsaid. Sungkono Sidiq merupakan salah satu pejabat yang dipercaya waktu itu. Bahkan ketika jaman KH. Ramdlan Sirajd, dirinya pernah menjabat Asisten II Bupati Sumenep. Terakhir ia menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Sumenep sampai saat ini.

Suatu kepercayaan dan prestasi yang membanggakan sebagai birokrat. Dimana dipercaya oleh dua jaman Bupati, baik saat pemerintahan Bupati Soekarno Marsaid maupun KH. Ramdlan Sirajd. Ia sering berhubungan dengan program-program pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masayarakat. Misalnya, PPK, PNPM Mandiri, P2KP, Program Penelitian dan beberapa program yang bersentuhan dengan kepala desa dan masyarakat.

Tentunya ini menjadi modal politik bagi Sungkono Sidik jika ingin mencalonkan diri sebagai cawabup. Dirinya sangat pas jika menjadi pendamping pasangan Kyai dari kalangan Nahdlyin. Apabila dengan pengusaha/profesional malah tidak menjadi nilai tambah mengingat secara pemetaan basis, ia juga mewakili masyarakat modern dan perkotaan.

Selanjutnya ada nama A.Syafii Untung, ia adalah Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Sumenep. Dirinya selalu aktif dengan program-program pemberdayaan dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Ia termasuk birokrat yang jujur dan mempunyai lolayitas yang tinggi pada pekerjaan.

Dirinya juga memiliki modal kuat meraih basis perkotaan dan mempunyai jaringan luas sampai perdesaan. Selain itu ia didukung oleh saudaranya RB.Zainal Arifin yang menjadi anggota DPRD Jawa Timur Dapil XI dari Partai Golkar. Ia juga mewakili satu-satunya cawabup yang dari kalangan ningrat keturunan Panembahan Semolo Sumenep. Jika kekuatan ini di maksimalkan tentunya akan berdampak positif pada pendulangan suara.

Dan cawabup terakhir dari kalangan birokrat adalah Dzulkifli Mahmud. Ia merupakan sosok dokter yang memimpin Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumenep. Dirinya dikenal sebagai sosok dokter yang ramah dan memiliki relegiusitas yang tinggi. Kemampuan mengelola dan manajemen yang baik merupakan modal dasar kepemimpinannya.

Figur ini dikenal memiliki jaringan yang kuat di desa-desa dengan kolega bidan, perawat dan dokter di seluruh Sumenep. Sebagai dokter, ia juga memiliki pasien yang fanatis dan kemungkinan bisa digiring menjadi pendukung jika dirinya maju sebagai cawabup.

Ia juga mewakili basis perkotaan dan bisa digandengkan dengan Kyai dari kalangan Nahdlyin yang akan maju pada cabup. Selain mewakili kalangan birokrat Dzulkifli Mahmud juga mewakili kalangan profesional. Peluang ini harus ditangkap sebagai penguat dukungan. Apabila para cabup dari kalangan Nahdliyin akan maju pada Pilkada Sumenep 2010.

Dari beberapa figur yang telah diuraikan satu-persatu, tentunya mungkin masih ada nama-nama lain yang belum muncul sebagai cawabup. Figur cawabup diharapkan menjadi sosok komplementer atau pelengkap dari semua potensi yang ada. Dimana cawabup tersebut menjadi penutup kekurangan cabup dan juga menjadi penguat kemenangan pada Pilkada.

Pilkada Dua Putaran

Jika melihat peta politik yang ada kemungkinan akan ada 5 sampai 6 pasang calon. Sehingga bisa diasumsikan, kemungkinan kuat terjadi dua putaran. Oleh karena itu, figur dan sosok cawabup paling tidak, bisa menjadi penentu untuk kelolosan pada putaran kedua. Setelah itu baru berpikir maju untuk menang pada putaran berikutnya.

Pasangan calon terpilih sesuai dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Pasal 107 ayat 1 dan dua. Serta Pasal 95 ayat 2 PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, menetapkan ambang batas 25 % (dua puluh lima persen), bagi calon pemenang Pilkada atau menggunakan konsep mayoritas sederhana.

Pertimbangan penetapan penetapan presentase ini adalah aspek efisiensi, mengurangi pemborosan Pengulangan Pilkada dan menghindari kesibukan pihak-pihak yang berkompeten pada Pilkada. Rendahnya ambang batas ini menandakan bahwa di Negara Indonesia, pembangunan sebuah demokrasi masih bukan prioritas utama.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, walaupun hanya berbeda sedikit dengan konsep pemenang yang ditetapkan dalam PP Nomer 6 tahun 2005, yaitu naik sebesar 5 % (lima persen). Tetapi ini sudah membawa angin segar bagi kemajuan demokrasi di Negara Indonesia. Kebijakan penetapan calon terpilih sebagaimana diatur dalam pasal 107 yang merupakan revisi terhadap Pasal 107 Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Tertuang beberapa poin penting dalam tahapan pemenangan dan putaran kedua.

Yang pertama, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh 50 % (lima puluh persen), jumlah suara sah ditetapkan sebagai pemenang calon terpilih. Kedua, apabila ketentuan pada poin pertama tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih 30 % (tiga puluh persen), dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehannya suaranya terbesar dinyatakan sebagai calon terpilih.

Ketiga, dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud pada poin dua terdapat lebih dari satu pasangan calon yang memperoleh suara sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
Keempat, apabila ketentuan pada poin kedua tidak terpebuhi, atau tidak ada yang mencapai 30 % (tiga puluh persen), dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua.

Kelima, apabila pemenang pertama sebagaimana maksud pada poin empat diperoleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan putaran kedua.
Enam, apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada poin empat diperoleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan tingkat pertama dan kedua dilakuakan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.

Tujuh, apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada poin empat diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Delapan, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara terbayak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangangan calon terpilih. (Prof. Dr. J. Kaloh : 2009).

Seorang cabup diharapkan mawas diri dan selektif dalam menentukan pasangan cawabup. Salah memilih akan menyesal lima tahun, karena harapan kemenangan di depan mata hilang dari pandangan. Realitas politik ini harus disadari semua kandidat bacabup, untuk memilih pasangan yang bisa diterima masyarakat. Paling tidak bisa lolos putaran kedua dulu dan meraih kemenangan babak akhir. Semoga bisa memilih pasangan yang tepat.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar