Jumat, 18 Desember 2009

Jelang Pilkada Sumenep 2010-2015 : Kyai dalam Pertarungan Politik Pilkada


Oleh : Syafrudin Budiman, SIP
Pemerhati Sosial Politik dan Media

Kabupaten Sumenep merupakan satu-satunya daerah yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pertama kali di Madura pada 2010. Daerah ini merupakan basis mayoritas politik Islam tradisional antara kyai dan santri. Terbukti sejak diselenggarakan-nya pemilu pertama tahun 1955 kekuatan politik tradisional selalu menguat.

Sumenep merupakan daerah yang banyak didapati lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah, serta menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh agama. Masyarakatnya yang agamis dan paternalistik ini, selalu mengedepankan kepercayaan tinggi kepada kyai atau ulama. Kyai adalah guru sekaligus orang tua kedua santri

Menurut Dr. A. Latief Wiyata, Antropolog Budaya Madura Universitas Jember, secara politik, syah-syah saja seorang kiai menjabat sebagai bupati. Namun dalam perspektif kultur Madura munculnya “bupati kiai” seakan “menyimpang” dari koridor filosofi orang Madura. Sampai saat ini setiap orang Madura tentu tidak akan melupakan ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato sebagai landasan filosofi kehidupan sehari-hari mereka.

Selain orangtua (bhuppa’-bhabhu’) yang menjadi panutan utama, menyusul figure kiai (ghuru), kemudian pemimpin formal (rato). Tugas dan kewajiban utama seorang kiai idealnya sebagai penjaga moral setiap orang Madura. Oleh karenanya tugas dan kewajiban ini lebih diorientasikan pada kehidupan ukhrowi (sacred life).

Sedangkan figure rato dalam tataran praksis bermakna sebagai pemimpin formal yang tugas dan kewajibannya lebih beroreintasi pada kehidupan duniawi (profane life). Munculnya “bupati kiai” akan dipandang sebagai “penyimpangan” dari koridor filosofi kehidupan orang Madura oleh karena secara cultural sudah tegas ditentukan antara bidang kehidupan yang menjadi ranah otoritas kiai (rato) dan ranah kekuasaan bupati (rato). Dalam ungkapan lain dengan jelas diharapkan agar kedua figure itu menempati posisi sesuai dengan otoritasnya (lakona lakone, kennengganna kennengnge). (Latif Wiyata : November 2005).

Ketika ruang politik dibuka pada jaman reformasi 1998, banyak tokoh ulama dan santri muda tampil dalam gelanggang politik. Bahkan diantara mereka banyak yang terpilih menjadi anggota legeslatif maupun di lembaga eksekutif. Saat pemilu 1999 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menjadi kendaraan politik warga Nahdlatul Ulama (NU) mampu menguasai Sumenep. Dimana mampu mengantarkan 24 kader menjadi anggota legeslatif.

Dengan suara mayoritas itulah PKB juga mampu menghantarkan kader terbaiknya KH Abuya Busro Karim menjadi Ketua DPRD Sumenep. Sedangkan di lembaga eksekutif mampu menghantarkan KH. Ramdlan Siradj dan KH Abdul Muis sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sumenep. Selain itu KH. Tsabit Khazien menjadi anggota DPR RI dan KH. Taufiqurrahman menjadi anggota DPRD Jawa Timur.

Namun dalam perjalanannyan, kharisma politik kyai mulai memudar. Terbukti kekuatan PKB pada pemilu 2004 mengalami penurunan menjadi 20 kursi. Sedangkan pemilu 2009 anjlok 11 kursi. Hal ini menandakan kegagalan para tokoh tradisional ini dalam mengelola aspirasi politik umat. Terutama mengatasi persoalan-persoalan kebutuhan masyarakat. Baik masalah pembangunan daerah maupun mengatasi perbaikan perekonomian daerah dan pengentasan kemiskinan.

Posisi Kyai adalah figur teladan dan rujukan dalam penyelesaian masalah keagamaan. Kyai juga adalah panutan para santrinya dan masyarakat sekitar. Ini merupakan posisi strategis dan berperan besar pada pengembangan masyarakat. Bentuk tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi norma agama adalah acuan perilaku sehari-hari. Kemampuan pengayoman sangat ditentukan oleh pribadi kyai yang senantiasa memberikan teladan (mau’izah al-hasanah).

Sumenep direncanakan menggelar pilkada 14 Juni 2010. Mampukah kyai menunjukkan peran eksistensinya dalam pilkada ini nantinya? Mengingat kepercayaan publik mulai memudar kepada partai politik yang menjadi sandaran kyai. Berdasarkan hasil serap aspirasi PCNU Sumenep 10 Juni 2009 lalu. Muncul nama-nama kadidat dari kalangan kyai.

Diantaranya, KH. Ilyasi Siradj (mantan anggota DPR RI), KH. Busro Karim (Mantan Ketua DPC PKB/Mantan Ketua DPRD Sumenep) dan KH. Unais Ali Hisyam (Ketua DPC PKB Sumenep). Selanjutnya KH. Warist Ilyas (PP Annuqayah dan Ketua DPC PPP), KH Taufiqurrahman (Wakil Ketua Dewan Syuro PCNU Sumenep) KH. Abdullah Cholil (Ketua PCNU Sumenep).

Sementara dari kalangan muda tampil nama, Azasi Hasan (Ekonom/BNI Pusat) KH. Abdul Muiz (Mantan Wakil Bupati Sumenep), H. Hasan Basri (Wakil Ketua PCNU Sumenep), Hj. Dewi Kholifah (Muslimat), H. Sugiyanto (LPNU Sumenep) dan Husni Idris (Kalangan Muda NU).

Keinginan melakukan serap aspirasi ini tidak lepas dari keinginan menyatukan aspirasi warga NU. Karena kemungkinan besar terjadi polarisasi politik antar kyai. Mengingat pengalaman terjadinya pertarungan politik kyai pada pilkada 2005 lalu. Dimana lima pasangan kandidat, semuanya lahir dari kalangan NU. Diantaranya KH. Ramdlan Siradj dan Moh Dahlan (PPP-PPNUI), KH Busro Karim-Moch Romli (PKB) dan KH M. Afif Hasan-Malik Effendi (PAN, PDIP dan PKS).

Selain itu KH Abdul Muiz Ali Wafa-Siti Aisyah (Koalisi Rakyat Bersatu-gabungan partai gurem seperti PBR, PKPB, PPIB, Partai Pelopor, PSI dan PNI Marhaen) dan Abdul Madjid Tawil-KH Abdul Wakir Abdullah (Gokar dan PKPI). Kelima kandidat Bupati ini semuanya lahir dari kalangan Nahdlatul Ulama.

Benturan antar komunitas kyai pada pilkada 2010 dipastikan semakin melebar. Mengingat kekuatan politik kyai hari ini, bermodalkan PKB (11 kursi), PPP (7 kursi) dan PKNU (4 kursi). Tampilnya sosok kyai dalam pilkada kedepan adalah sebuah keniscayaan. Konflik kepentingan antar kandidat akan merambah basis di bawah sebagai dinamisasi politik tradisional.

Mampukah Nadlatul Ulama Sumenep sebagai organisasi dan wadah para kyai dan ulama mampu menyatukan semua kekuatan. Baik yang akan tampil lewat kendaraan partai politik berbasis NU maupun bukan dari kalangan NU. Walaupun bisa saja kyai memilih partai politik yang berbasis nasionalis dan modernis. Peran ini sangat diperlukan sebagai kekuatan penyeimbang. Mengingat telah terjadi pergerseran peran dari pribadi yang tercitrakan sebagai seorang ilmuwan. Kini berperan ganda sebagai ilmuwan agama dan sebagai politisi.

Dahulu kyai menjadi pengontrol kebijakan pemerintah bahkan oposan. Sekarang tindak-tanduknya seolah dikendalikan oleh pemerintah dengan alasan politis. Jika waktu itu pemerintah dan politisi meminta nasihat kepada kyai. Sekarang beramai-ramai kiai meminta petunjuk kepada pemerintah dan politisi. apalagi pada saat menjelang pilkada. Istilahnya mereka berselingkuh dengan penguasa dan calon penguasa (politisi) demi kekuasaan.

Saat ini umat menantikan kembali sosok kiai yang bersahaja nan arif bijaksana di tengah-tengah masyarakat. Terlebih saat umat dilanda berbagai kesulitan dan persoalan saat ini. Carut-marut dunia hukum, wahana pertarungan politik yang memanas dan himpitan kebutuhan ekonomi.

Sosok kiai diharapkan bukan sosok yang suka berselingkuh dengan penguasa dan penebar virus permusuhan (antar madzhab dan antar agama). Tetapi sosok penuh kebersahajaan, penebar kedamaian dan dihiasai sifat wara’ serta zuhud dalam segala tindakan. Figur tauladan ini dibutuhkan oleh masyarakat Sumenep untuk bangkit dari keterpurukan. Wallahu a’lam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar