Rabu, 11 April 2012
Menulis untuk Tugas Sejarah
Oleh Syafrudin Budiman, SIP (Pimred www.liputanmadura.com)
Sosok Yazid R Passandre dilirik sejak dirinya menulis Novel Lumpur, Trilogi Tanah dan Cinta. Ia menceritakan tragedi semburan lumpur panas di Porong dan kisah duka derita korban.
Catatan kelam yang diringkas dalam sebuah novel ini mendadak laris dan banyak diburu orang. Mulai dari para korban, aktifis LSM, mahasiswa, dosen, dan politisi. Bahkan, para pejabat yang tangannya masih berlumuran lumpur Lapindo, ikut pula membaca karyanya.
Yazid, panggilan pendeknya. Sosok pria penuh optimisme ini lahir 9 Januari 1978 dan dibesarkan di Pulau Sapeken, Sumenep, Jawa Timur. Sejak kecil hingga tamat Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Abu Hurairah, ia menghabiskan waktunya di Pulau Sapeken, sebuah pulau mungil yang terletak di gugusan timur kepulauan Madura.
Yazid pernah berfikir untuk tidak melanjutkan sekolah formal dan pergi ke Bandung menyusul kakaknya. Beberapa bulan tinggal di Kota Kembang itu, sang kakak menyarankan agar Yazid mondok lagi di sebuah pesantren di Solo. Setahun nyantri di Pesantren Al-Mukmin Sukaharjo, Solo, Yazid hijrah ke Yogyakarta dan meneruskan sekolahnya di SMU Muhammadiyah.
“Saya mengenyam kegetiran dan lika-liku hidup sejak kanak sebagai orang pulau yang sehari-hari tinggal di tepi laut. Menimba secara langsung spirit kehidupan dari ayah, dan belajar tentang filosofi hidup dari laut: berpikir luas dan dalam, serta sanggup memangku beban.” Ujar Yazid mengenang kampung halamannya.
Selama sekolah di Yogyakarta, Yazid mulai berkenalan dengan dunia tulis menulis dan beberapa kali menjuarai lomba menulis seperti resensi buku dan karya tulis ilmiah. Yazid yang menyukai aktivitas volunteer aktif pula berorganisasi. Ia sempat mengabdi sebagai Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan dan Pengkajian Strategi Dakwah Remaja (P3SDR) Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah.
Meskipun duduk di bangku sekolah menengah, Yazid tak canggung berkecimpung dan menggeluti pengalaman organisasi yang tidak lumrah bagi remaja seusianya waktu itu.
“Dalam hidup yang paling menentukan bukan usia atau jenjang pendidikan, tapi pola pikir. Saya yakin, usia tidak masuk daftar syarat kematangan dan keberhasilan. Hidup ini terlalu singkat untuk menunggu hal-hal besar yang bisa kita perbuat hari ini,” ungkap Yazid.
Anak ketiga dari pasangan H.M. Muhammad Ali Daeng Sandre dan Hj. Fauziah Badrul ini belum mengenyam pendidikan perguruan tinggi, karena segera memutuskan untuk langsung bergiat dalam dunia interpreneur. Beberapa tahun lamanya aktivitas kepenulisannya mandeg karena kesibukan Yazid bertualang dalam dunia usaha.
Pada usianya yang masih muda (27 tahun), Yazid sudah mengukir prestasi usaha yang cukup gemilang, meski beberapa tahun kemudian perumahan Alam Songsong Permai yang dikembangkannya di sebuah kawasan di Madura mengalami kemacetan. “Usaha itu memang sempat macet, tapi saya tidak merasa gagal. Saya yakin semua bisa ditata kembali untuk dilanjutkan dengan cara yang lebih baik. Saya mengalami kesulitan bukan karena terlalu cepat meraih keberhasilan, tapi karena memang ada yang salah dalam mengelola keberhasilan itu. Tentu, ini pengalaman berharga untuk meraih mimpi-mimpi saya yang tertunda,” tutur yazid.
Namun, di sela-sela masa sulitnya itulah Yazid menemukan mutiara yang hilang. Berawal dari kerinduannya kepada sosok kakeknya, Yazid kemudian memutuskan untuk menulis buku biografi sang kakek. Buku tersebut terbit dengan judul: DAENG SANDRE, Kilas Jejak Sang Pemimpin. Perjalanan sang kakek dan pengalaman kepemimpinannya sebagai kepala desa hingga akhir hayat, Yazid tumpah-tuturkan dalam buku itu.
“Keindahan yang saya rasakan dalam menulis adalah karunia besar yang Tuhan anugerahkan secara diam-diam ke dalam hidup saya. Saya tidak punya alasan untuk tidak mensyukurinya.” Kata pria penuh pesona ini.
Setahun berikutnya, Yazid menerbitkan buku kedua berbentuk novel dengan judul Tonggak Sang Pencerah (TSP). Novel sejarah yang menuturkan perjalanan hidup KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ini Yazid tulis sebagai karya persembahan untuk mengenang jasa-jasa perjuangan sosok Pahlawan Kususma Bangsa dari Kauman itu bertepatan dengan momentum Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (2010).
Pada 12 November 2011, Yazid melaunching Novel Lumpur. Ia mengaku bangga dengan ketiga buku yang telah ditulisnya itu, dan selalu mengatakan bahwa menulis adalah tugas sejarah yang harus terus dilanjutkan. “Dengan karya tulis, saya mengabdi kepada Tuhan, berbakti kepada kemanusiaan dan kehidupan.” (rud)
Foto: Yazid R Passandre usai launching Novel Lumpur di Gramedia Matraman, Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
mantep
BalasHapus