Rabu, 28 Maret 2012

Komite Kerja Advokat Indonesia Desak Revisi KUHP

Jakarta - Naskah Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) saat ini menjadi prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2012. Namun sampai saat ini pemerintah dan DPR RI belum membahas RUU tersebut.

“Untuk kami dari Komite Kerja Advokat Indonesia (Tekad Indonesia) mendesak kepada pemerintah dan DPR RI untuk segera membahas RUU KUHP pada tahun 2012 ini,” ujar DR. Juniver Girsang, SH, MH., Ketua Badan Pengurus Tekad Indonesia, Jakarta (28/3) dalam siaran persnya, didampingi Harry Ponto, SH, LLM .

Menurut Advokat senior ini, RUU KUHP sudah menjadi prioritas pembahasan Prolegnas, Namun, kenyataannya belum ada tanda-tanda realisasi. Katanya, pemerintah terkesan masih lebih suka mengandalkan hukum warisan colonial, yang di negaranya sendiri (red-Belanda) telah dipeti-eskan.

“Untuk itu, lambatnya pembahasan R-KUHP ini menunjukkan pemerintah belum memiliki political will. Terutama dalam menunjang upaya modernisasi perlindungan hukum atas hak-hak asasi bagi warga Negara Indonesia.

Juniver Girsang juga menerangkan bahwa, sebenarnya naskah RUU-KUHP sudah hampir 30 tahun usia-nya. Sejak dipersiapkan tahun 1982 oleh Tim di Departemen Kehakiman, yang saat ini telah berubah nama menjadi Departemen Hukum dan HAM.

”Pada pertengahan tahun 1993, Naskah RUU-KUHP dianggap telah selesai dan semula akan diajukan ke DPR. Tetapi pengajuan pembahasan ini menjadi tertunda,” terangnya.

Kendala ini terjadi, kata Juniver, antara lain disebabkan meluasnya pro-kontra di media massa terhadap beberapa pasal dalam RUU-KUHP, terutama pasal-pasal dalam bab Kesusilaan.

”Pemerintah tak berdaya menghadapi tudingan dan kontroversi, sehingga Menteri Kehakiman saat itu, Oetojo Oesman, akhirnya menyerah dan menunda pengajuan naskah itu ke DPR. Oetojo Oesman lebih memilih untuk melakukan penggodokan kembali,” jelas pria setengah baya ini.

Ditambahkan, Harry Ponto, SH, LLM., Sekretaris Tekad Indonesia, secara substansial, pembaharuan KUHP yang dipelopori oleh Departemen Hukum dan HAM ini sarat dengan muatan mainstream moral, over criminalization, dan pasal-pasal yang bersifat victimless crime.

Bahkan, kata Harry Pontoh, ada kecenderungan RUU-KUHP yang ada saat ini justru mereduksi berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (lex spesialis), seperti UU tentang HAM, UU Pornografi, UU Trafficking, dan lain-lain.

”Ironisnya lagi, dalam konsideran RUU-KUHP tidak mempertimbangkan instrumen-instrumen HAM internasional yang telah di ratifikasi. Seperti, konvensi hak sipil dan politik (ICCPR), konvensi anti penyiksaan (CAT), konvensi CEDAW, dan lain-lain. Sehingga substansi pasal yang diatur banyak menyimpang dari standar-standar HAM internasional,” ujar Advokat Senior ini. (rud)

foto : Forum Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar